29 Des 2015

Sederhana

Gadis itu tersesat. Jalan gelap dan berliku yang ia pilih. Terhalang kabut, terportal rasa. Terus berjalan, percaya pada harap. Harap kabut kan hilang. Harap cahaya kan menerangi jalannya. Harap nasib baik kan berpihak padanya. Harap dan terus berharap.

Terus berjalan, mengikuti taburan bunga bercampur duri. Berjalan tanpa beralas kaki. Sambil terus meracuni jiwa, berkata ia akan baik-baik saja. Percaya jika luka karna duri itu akan ternetralisir dengan taburan bunga yang indah.

Hingga ia terperangkap pada lubang gelap. Gelap yang amat sangat pekat. Gelap yang selama ini jadi musuhnya. Terus terjebak, hingga gelap menjadi satu-satunya temannya. Menunggu dan terus menunggu untuk diselamatkan.

Sampai tiba, tangan terulur. Membawanya keluar dari lubang itu. Menuntunnya kembali berjalan. Hanya saja, ia bukan lagi gadis yang sama seperti sebelum berteman dengan gelap. Kini, ia hanya berjalan mengikuti kemana arah takdir kan membawanya. Berusaha menikmati semua perjalanan yang dilaluinya. Berjalan tanpa harap. Gelap mengajarkannya menjadi pecundang, atau ia hanya mencoba realistis kalau harapan hanyalah pengali sakit disaat kecewa?

Hingga ia tersadar, bukan ia terlalu pecundang tak mau berharap. Hanya saja tujuan yang semula panjang dan berliku telah berubah menjadi lebih sederhana. Hanya sebuah senyuman yang ia minta. Cukup dengan senyuman dan semua terasa damai. Ia tidak pernah takut dengan perjudian waktu. Karna ia sadar betul, kalau tawa, bahagia selalu sepaket dengan air mata. Kalau setiap pertemuan, pasti akan diakhiri dengan perpisahan. Hanya saja hingga saat itu tiba, ia hanya ingin melihat senyuman itu

3 Nov 2015

Bebas

Kemarin, kisah baru kembali di mulai. Hati yang telah lama mati mulai berwarna. Ia memutuskan untuk kembali percaya, bertaruh harap pada perjudian kehidupan. Ia sadar betul akan keputusan yang dibuatnya. Ia tidak takut

Tangan terulur untuk menahan kakinya yang terlalu rapuh dan goyah untuk berdiri sendiri. Mengajaknya untuk kembali bernapas. Merasakan sinar mentari menerpa kulitnya. Maka, keluarlah ia dari kotak itu. Meninggalkan gelap pekat di belakangnya.

Melangkah ia perlahan menyesuaikan diri. Membiarkan tetes embun membasahi kakinya yang tak beralas. Dihirupnya dalam-dalam aroma tanah sehabis hujan itu. Memenuhi paru-parunya dengan udara menenangkan.

Mendongak kepalanya menatap langit. Memandangi pelangi beraneka warna menggantung disana. Perlahan, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. Ia mengeluarkan secarik kertas dan pensil, lalu mulai menulis

Ini tentang harapan, kepercayaan, dan kasih sayang
Kamu yang mengembalikan itu semua
Kamu yang menuntunku untuk keluar dari kotak
Mengajakku kembali bernapas
Memperlihatkan mentari yang kukira takkan pernah kurasakan kembali
Kamu
Hal pertama dan terakhir yang ada dalam pikiranku
Setiap harinya
Bersamamu, aku tidak takut melangkah
Bersamamu, aku damai
Ya, hanya bersamamu


31 Jul 2015

Di Dalam Kotak

       Terduduk sepi di dalam kotak. Gadis itu kembali memejamkan mata dan mendesah berat. Menunggu siapapun yang cukup peduli dan keras kepala, untuk mengeluarkannya dari dalam kotak. Meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Memunculkan kembali keberanian yang sudah terenggut sekian lama. Sudah lupa ia bagaimana aroma udara di luar kotak. Sudah lama ia tidak merasakan hangatnya sinar mentari ketika menyentuh kulitnya, saat ia berada di luar kotak.

       Hanya gelap dan sunyi yang menemaninya selama ini. Sudah lupa ia bagaimana caranya untuk berlari menyusuri jalan hidup, sedang kakinya terlalu rapuh dan goyah untuk bisa berdiri tegak.

       Kembali ia menghitung cobaan yang datang bersamaan, tanpa paham peristirahatan. Satu persatu hilang, namun yang lain datang. Ingin rasanya istirahat sejenak, namun apa daya, takdir bahkan seakan tidak mengizinkannya untuk sekedar menepi. Ia terduduk merenung. Kembali menunggu tanpa pernah berharap. Menyenandungkan elegi dalam kesunyian. Ingin rasanya berteriak, menyuarakan hidup yang tak adil. Namun hanya isak dan beberapa seguk tanpa suara yang muncul. Matanya memanas, pandangannya mulai kabur tertutupi air yang perlahan jatuh mengalir membasahi pipinya.

       Ia hanya gadis 17 biasa, yang dipaksa takdir untuk terus menunggu. Menunggu untuk ditemukan dan dikeluarkan dari dalam kotak. Menunggu tanpa pernah berharap.

29 Des 2015

Sederhana

Gadis itu tersesat. Jalan gelap dan berliku yang ia pilih. Terhalang kabut, terportal rasa. Terus berjalan, percaya pada harap. Harap kabut kan hilang. Harap cahaya kan menerangi jalannya. Harap nasib baik kan berpihak padanya. Harap dan terus berharap.

Terus berjalan, mengikuti taburan bunga bercampur duri. Berjalan tanpa beralas kaki. Sambil terus meracuni jiwa, berkata ia akan baik-baik saja. Percaya jika luka karna duri itu akan ternetralisir dengan taburan bunga yang indah.

Hingga ia terperangkap pada lubang gelap. Gelap yang amat sangat pekat. Gelap yang selama ini jadi musuhnya. Terus terjebak, hingga gelap menjadi satu-satunya temannya. Menunggu dan terus menunggu untuk diselamatkan.

Sampai tiba, tangan terulur. Membawanya keluar dari lubang itu. Menuntunnya kembali berjalan. Hanya saja, ia bukan lagi gadis yang sama seperti sebelum berteman dengan gelap. Kini, ia hanya berjalan mengikuti kemana arah takdir kan membawanya. Berusaha menikmati semua perjalanan yang dilaluinya. Berjalan tanpa harap. Gelap mengajarkannya menjadi pecundang, atau ia hanya mencoba realistis kalau harapan hanyalah pengali sakit disaat kecewa?

Hingga ia tersadar, bukan ia terlalu pecundang tak mau berharap. Hanya saja tujuan yang semula panjang dan berliku telah berubah menjadi lebih sederhana. Hanya sebuah senyuman yang ia minta. Cukup dengan senyuman dan semua terasa damai. Ia tidak pernah takut dengan perjudian waktu. Karna ia sadar betul, kalau tawa, bahagia selalu sepaket dengan air mata. Kalau setiap pertemuan, pasti akan diakhiri dengan perpisahan. Hanya saja hingga saat itu tiba, ia hanya ingin melihat senyuman itu

3 Nov 2015

Bebas

Kemarin, kisah baru kembali di mulai. Hati yang telah lama mati mulai berwarna. Ia memutuskan untuk kembali percaya, bertaruh harap pada perjudian kehidupan. Ia sadar betul akan keputusan yang dibuatnya. Ia tidak takut

Tangan terulur untuk menahan kakinya yang terlalu rapuh dan goyah untuk berdiri sendiri. Mengajaknya untuk kembali bernapas. Merasakan sinar mentari menerpa kulitnya. Maka, keluarlah ia dari kotak itu. Meninggalkan gelap pekat di belakangnya.

Melangkah ia perlahan menyesuaikan diri. Membiarkan tetes embun membasahi kakinya yang tak beralas. Dihirupnya dalam-dalam aroma tanah sehabis hujan itu. Memenuhi paru-parunya dengan udara menenangkan.

Mendongak kepalanya menatap langit. Memandangi pelangi beraneka warna menggantung disana. Perlahan, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. Ia mengeluarkan secarik kertas dan pensil, lalu mulai menulis

Ini tentang harapan, kepercayaan, dan kasih sayang
Kamu yang mengembalikan itu semua
Kamu yang menuntunku untuk keluar dari kotak
Mengajakku kembali bernapas
Memperlihatkan mentari yang kukira takkan pernah kurasakan kembali
Kamu
Hal pertama dan terakhir yang ada dalam pikiranku
Setiap harinya
Bersamamu, aku tidak takut melangkah
Bersamamu, aku damai
Ya, hanya bersamamu


31 Jul 2015

Di Dalam Kotak

       Terduduk sepi di dalam kotak. Gadis itu kembali memejamkan mata dan mendesah berat. Menunggu siapapun yang cukup peduli dan keras kepala, untuk mengeluarkannya dari dalam kotak. Meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Memunculkan kembali keberanian yang sudah terenggut sekian lama. Sudah lupa ia bagaimana aroma udara di luar kotak. Sudah lama ia tidak merasakan hangatnya sinar mentari ketika menyentuh kulitnya, saat ia berada di luar kotak.

       Hanya gelap dan sunyi yang menemaninya selama ini. Sudah lupa ia bagaimana caranya untuk berlari menyusuri jalan hidup, sedang kakinya terlalu rapuh dan goyah untuk bisa berdiri tegak.

       Kembali ia menghitung cobaan yang datang bersamaan, tanpa paham peristirahatan. Satu persatu hilang, namun yang lain datang. Ingin rasanya istirahat sejenak, namun apa daya, takdir bahkan seakan tidak mengizinkannya untuk sekedar menepi. Ia terduduk merenung. Kembali menunggu tanpa pernah berharap. Menyenandungkan elegi dalam kesunyian. Ingin rasanya berteriak, menyuarakan hidup yang tak adil. Namun hanya isak dan beberapa seguk tanpa suara yang muncul. Matanya memanas, pandangannya mulai kabur tertutupi air yang perlahan jatuh mengalir membasahi pipinya.

       Ia hanya gadis 17 biasa, yang dipaksa takdir untuk terus menunggu. Menunggu untuk ditemukan dan dikeluarkan dari dalam kotak. Menunggu tanpa pernah berharap.
 
Bella's Blogger Template by Ipietoon Blogger Template